POROSJAKARTA.COM, JAKARTA – Bulan-bulan belakangan ini terjadi puluhan aksi penolakan dimana-mana hampir di seluruh Tanah Papua berkaitan dengan penetapan Anggota MRP (Majelis Rakyat Papua) oleh Panitia Seleksi (Pansel) di masing-masing kabupaten dan provinsi.
Di provinsi yang baru terbentuk, yakni Provinsi Papua Barat Daya juga terjadi demikian. Sabtu (20/5/2023) kemarin delapan suku besar Papua Wilayah 3 Domberay yaitu Suku Besar Imeko dan Suku Besar Moi mendatangi Sekretariat Panitia Seleksi MRP Provinsi Papua Barat Daya di Jalan Sam Ratulangi, Distrik Sorong Sabtu (20/5/2023).
Kedelapan suku besar yang menamakan diri solidaritas wilayah adat 3 Domberay ini menuntut Pansel MRP – PBD agar bekerja sesuai Peraturan Gubernur Provinsi Papua Barat Daya Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tatacara Pembentukan dan Jumlah Keanggotaan MRP-PBD.
Baca Juga: FOPERA : Ketua KPU Papua Barat Daya Sudah Diamanatkan Harus Orang Asli Papua
Sehari sebelumnya Ketua Dewan Adat Suku Maya (Dasmaya) Kabupaten Raja Ampat, Kristian Thebu, menyampaikan surat protes kepada Gubernur Provinsi Papua Barat Daya, dan Ketua Pansel MRP Provinsi Papua Barat Daya tentang penolakan mereka terhadap hasil seleksi calon Anggota MRP periode 2023-2028 Raja Ampat
Surat Dewan Adat Suku Maya setebal dua halaman itu berisikan 11 pernyataan sikap. Semuanya memperlihatkan tentang ketidakbecusan Pansel melaksanakan pekerjaannya, mengesampingkan sejumlah aturan main, dan tampaknya mendepak kelompok atau suku lain demi mobilisasi suku dan kepentingan tertentu.
Terhadap berbagai aksi yang makin “memanas” belakagan ini Aktivis Perempuan dari Papua Barat Daya, Sofia Poppy Maipauw menyatakan apa yang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) telah sangat melecehkan martabat Dewan Adat dan perempuan yang bekerja menurut tata nilai lokal yang luhur yang dihargai dan sangat diagungkan oleh semua orang Papua. Proses MRP bukan proses politik. Ini proses menurut hukum adat dan nilai-nilai lokal.
Baca Juga: Delapan Suku Besar Wilayah 3 Domberay Datangi Pansel MRP di Papua Barat Daya
Menurut Poppy Maipauw perbuatan yang melecehkan itu ialah perbuatan yang mengesampingkan nilai-nilai lokal berupa keharusan bahwa memilih seorang MRP harus menggunakan hukum lokal yaitu musyawarah dan mufakat mulai dari tingkat kampung pada waktu pencalonan. Dari tingkat kampung dilanjutkan ke musyawarah tingkat Distrik.
Dari tingkat Distrik – bila telah terpilih oleh musyawarah adat Distrik – dilanjutkan ke tingkat Kabupaten, dan hingga ke tingkat Provinsi. Menurut Pappy Maippauw, apa yang terjadi di Papua Barat Daya yang berujung dengan aksi-aksi demo, semuanya terjadi karena proses musyawarah adat lokal tidak terjadi dan tidak dilakukan.
Bila demikain menurut Poppy Maipauw, itu namanya tidak menghargai nilai-nilai budaya lokal. Dan bila sampai pada tingkat mengesampingkan proses nilai tersebut, ia sungguh telah melecehkan masyarakat adat dan peremuan yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat Papua.
Baca Juga: Dewan Adat Suku Maya Tolak Hasil Seleksi Calon Anggota MRPB Provinsi Papua Barat Daya
Dia menyarankan, bila Pansel melakukan seleksi seperti aturan main dalam UU Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tatacara Pembentukan dan Jumlah Keanggotaan MRP-PBD, pastinya memakan biaya yang mahal. Dia meminta sebaiknya proses itu langsung dilakukan di tingkat Kabupaten dan Provinsi saja.
Semoga suara perempuan dari Poppy Maipauw bisa didengar di tengah kebisingan demo penolakan keputusan Pansel yang mencengangkan hampir di seluruh Tanah Papua ini.*||PJ/Mike Wangge
Artikel Terkait
Kepala Suku Besar Immeko Dukung Pencalonan Elisa Kambu Menjadi Gubernur Provinsi Papua Barat Daya
Pj Gubernur Papua Barat Daya Soroti 6 Kawasan Kumuh di Sorong
Habian Azma Azura: Siap Pimpin KAKI Bersinergi dengan Era Digital dan Kementerian
Nafa Urbach Terjun ke PH Garap Film Air Mata Di Ujung Sajadah
Nikson Worabay Jadi Caleg DPRD DKI, Tokoh Adat Kepulauan Yapen Serui Beri Apresiasi untuk Partai PKB Pusat
Dipercaya Aman, Kantor Pemerintah Termasuk BPOM Konsumsi AMDK Galon